Minggu, 15 Juli 2012

2.3. Uraian Isolasi

2.3.1. Pengertian Isolasi
            Pada dasarnya isolasi senyawa kimia dari bahan alam adalah sebuah usaha bagaimana caranya memisahkan senyawa yang bercampur sehingga kita dapat menghasilkan senyawa tunggal yang murni. Tumbuhan mengandung ribuan senyawa yang dikategorikan sebagai metabolit primer dan metabolit sekunder. Biasanya proses isolasi senyawa dari bahan alami ini mentargetkan untuk mengisolasi senyawa metabolit sekunder, karena senyawa metabolit sekunder diyakini dan telah diteliti dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Antara lain manfaatnya dalam bidang pertanian, kesehatan dan pangan.
2.3.2. Teknik-teknik Isolasi
            Untuk mengisolasi suatu senyawa kimia dari bahan alam hayati pada dasarnya menggunakan metode yang sangat bervariasi, seperti yang diaplikasikan dalam proses industri. Metode pengempaan digunakan pada isolasi CPO dari buah kelapa sawit.
            Metode ini umum digunakan karena senyawa organik yang diperoleh dengan kuantitas yang cukup banyak. Tetapi berbeda dengan senyawa bahan alam hasil proses metabolit sekunder lainnya yang pada umumnya dengan kandungan yang relatif kecil, maka metode-metode dalam proses industri tersebut tidak dapat digunakan.
            Berdasarkan hal di atas maka metode umum dalam isolasi senyawa metabolit sekunder dapat digunakan. Metode standar laboratorium dengan kuantitas sampel terbatas dan perlunya menetukan metode yang paling sesuai dengan maksud tersebut (Darwis, 2000).
            Dari identifikasi awal, maka dapat diamati kandungan senyawa dari tumbuhan sehingga untuk isolasi dapat diarahkan pada suatu senyawa yang lebih dominan dan salah satu usaha mengefektifkan isolasi senyawa tertentu maka dapat dimanfaatkan pemilihan pelarut organik yang akan digunakan pada isolasi tersebut, dimana pelarut polar akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan sebaliknya senyawa non polar lebih mudah larut dalam pelarut non polar (Harborne, 1987).
a.    Simplisia
Simplisia ialah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat, yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia nabati ialah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat murni (Departemen Kesehatan RI, 1986).

b.   Ekstraksi  
            Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (Departemen Kesehatan RI, 1986).

c.    Maserasi
            Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
            Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain.
            Keuntungan cara penyarian menggunakan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel (Departemen Kesehatan RI, 1986).
            Ekstrak yang telah diperoleh kemudian dijernihkan dengan penyaringan kemudian dipekatkan dalam hampa. Hal ini sekarang bisa dilakukan dalam penguap putar yang akan memekatkan larutan menjadi volume kecil, tanpa disertai percikkan pada suhu 30oC dan 40oC (Harborne, 1987).
            Pemilihan pelarut yang digunakan untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut. Teknik maserasi terutama digunakan apabila senyawa organik yang terdapat pada bahan alam menunjukkan presentasi yang cukup banyak. Serta ditemukan pelarut untuk melarutkan senyawa organik tanpa pemanasan. Biasanya cara ini membutuhkan waktu agak lama dan agak sulit mencari pelarut organik yang baik untuk melarutkan senyawa yang terkandung dalam sampel. Akan tetapi jika struktur senyawa yang akan diisolasi sudah diketahui, maka metode perendaman ini merupakan metode yang paling praktis (Manjang, 2006)
            Secara umum pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam. Hal ini disebabkan metanol dapat melarutkan hampir seluruh golongan metabolit sekunder.
d.   Fraksinasi
            Fraksinasi merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk memisahkan golongan utama kandungan yang satu dari kandungan golongan utama yang lainnya. Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran tergantung dari jenis senyawa yang terkandung dalam tumbuhan. Dalam metode fraksinasi pengetahuan mengenai sifat senyawa yang terdapat dalam ekstrak akan sangat mempengaruhi proses fraksinasi. Oleh karena itu, jika digunakan air sebagai pengekstraksi maka senyawa yang terekstraksi akan bersifat polar, termasuk senyawa yang bermuatan listrik. Jika digunakan pelarut non polar misalnya heksan, maka senyawa yang terekstraksi bersifat non polar dalam ekstrak (Harborne, 1987).
e.    Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk mengetahui apakah senyawa hasil isolasi sudah murni. Apabila noda yang dihasilkan hanya satu, maka kemungkinan hasil isolasi tertentu adalah murni. Akan tetapi untuk memastikannya perlu dilakukan variasi pelarut yang digunakan sebagai pengelusi. Jika elusi dengan variasi pelarut tetap memberikan noda tunggal, maka dapat diperkirakan senyawa hasil isolasi sudah murni.
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia atau merupakan salah satu metode identifikasi awal untuk menentukan kemurnian senyawa yang ditemukan atau dapat menentukan jumlah senyawa dari ekstrak kasar metabolit sekunder. Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi adsorpsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner (Ibrahim S, 2000).
            Lapisan yang memisahkan terdiri dari atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak kemudian plat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan selanjutnya senyawa tidak berwarna harus ditampakkan. Pereaksi noda pada plat KLT bervariasi tergantung dari senyawa yang akan diamati. Untuk noda yang mengalami fluoresensi warna pengamatan noda dapat dilakukan dengan lampu UV pada serapan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm (Markham, 1988).                     
            Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata pertikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya.
            Lempeng KLT disiapkan dengan melapiskan penjerap ke permukaan lapisan kaca, gelas, atau aluminium dengan ketebalan 250 µm. Lempeng KLT telah tersedia di pasaran dengan berbagai ukuran dan telah ditambah dengan reagen fluoresen untuk memfasilitasi deteksi bercak solut. Di samping itu, lempeng KLT yang tersedia di pasaran sudah ditambah dengan reagen fluoresen untuk memfasilitasi deteksi bercak solut. Di samping itu, lempeng KLT yang tersedia di pasaran sudah ditambah dengan agen pengikat, seperti kalsium sulfat (Gandjar, 2008).
            Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar, 2008).

1.      Aplikasi (Penotolan) Sampel
            Pemisahan pada KLT yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 µl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 µl maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar, 2008).
2.      Pengembang
            Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel tersebut dalam suatu bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus di bawah lempeng yang telah berisi totolan sampel.
            Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit mungkin. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung atas kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Selama proses elusi, bejana kromatografi harus ditutup rapat, misalkan dengan lembar aluminium dan sebagainya (Gandjar, 2008).
3.      Deteksi Bercak
      Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak:
1).  Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak   menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensitas warna bercak.
2).  Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang, panjang gelombang emisi 254 atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam. Lempeng yang diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah dilakukan pengembangan.
3).  Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-coklatan.
4). Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup.
5).  Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak dalam pencatat.
                                                                                                (Gandjar, 2008)
f.     Kromatografi Kolom
Kromatografi kolom digunakan untuk pemisahan campuran beberapa senyawa yang diperoleh dari isolasi tumbuhan. Dengan menggunakan fase padat dan fase cair (pelarut organik), maka fraksi-fraksi senyawa akan menghasilkan kemurnian yang cukup tinggi (Ibrahim, 2000).
Penentuan pelarut terbaik dilakukan dengan telah pendahuluan pada plat KLT dan kemudian pemisahan dialihkan ke kromatografi kolom dengan memperhatikan bahwa penjerap diaktifkan dulu dengan tepat. Jika kita melakukan pemisahan memakai silika gel, kita harus memakai silika gel untuk kromatografi kolom (Hostettman, 1995)
Umumnya kolom terbuat dari gelas dengan diameter 1-4 cm dengan panjang 5-60 cm. Fase mobil bergerak melintasi fase diam (fase stasioner) dengan tenaga gravitasi, serapan lembut atau diberi tekanan atau pompa. Komponen-komponen yang telah terpisah dari campurannya bergerak terbawa fase gerak ke bawah kolom. Jumlah komponen penyusun campuran dapat terlihat sebagai cincin-cincin berwarna sepanjang kolom gelas. Akhirnya, komponen-komponen dari campuran meninggalkan kolom gelas satu persatu dan dapat ditampung pada tempat yang berbeda (Hendrayana, 2010).
Tabung pemisah yang diisi dengan bahan sorpsi disebut kolom pemisah. Tergantung dari masalah pemisahan dapat digunakan tabung filter dengan gelas berpori, yang pada ujung bawah menyempit atau tabung gelas, yang dan dilengkapi dengan keran, tabung bola jarang digunakan (Roth, 1994).
Silika gel merupakan jenis adsorben (fase diam) yang penggunaannya paling luas. Permukaan silika gel terdiri atas gugus Si-O-Si dan gugus silanol (Si-OH). Gugus silanol bersifat sedikit asam dan polar karenanya gugus ini mampu membentuk ikatan hidrogen dengan solut-solut yang agak polar sampai sangat polar. Beberapa adsorben yang sering digunakan dituliskan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Adsorben-adsorben pada pemisahan kromatografi
No.
Adsorben
Urutan Kepolaran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Alumina
Karbon aktif
Silika gel
Magnesium silikat
Selulosa
Resin-resin polimerik (stiren/difenil benzen)
Paling polar




Paling non polar
(Gandjar, 2008)
Semakin polar solut maka semakin tertahan kuat ke dalam adsorben silika gel ini. Solut-solut non polar (seperti hidrokarbon-hidrokarbon jenuh) tidak mempunyai afinitas atau mempunyai sedikit afinitas terhadap adsorben polar, sementara solut-solut yang terpolarisasi (seperti hidrokarbon-hidrokarbon tak jenuh) mempunyai afinitas yang kecil terhadap adsorben polar disebabkan adanya interaksi dipol atau interaksi-interaksi yang diinduksi oleh dipol. Solut-solut polar, terutama yang mampu membentuk ikatan hidrogen, akan terikat kuat pada adsorben karenanya butuh fase gerak yang cukup polar untuk mengelusinya. Berikut adalah urutan polaritas solut-solut organik : alkana < alkena < aromatis < eter < ester < keton dan aldehid < tiol < amin dan amida < alkohol < fenol < asam-asam organik (Gandjar, 2008).
Pengisian tabung pemisah dengan adsorben, yang juga disebut kemasan kolom, harus dilakukan secara hati-hati, harus rata. Aluminium oksida atau silika gel dapat diisikan kering ke dalam tabung pemisah. Agar pengisian rata, tabung setelah diisi divibrasi, diketok-ketok, atau dijatuhkan lemah pada plat kayu. adsorben lainnya harus diisikan sebagai suspensi, terutama jika zat ini dapat menggelembung dengan pelarut pengembang. yang umum dilakukan adalah, adsorben dibuat seperti bubur dengan pelarut elusi, kemudian dimasukkan ke dalam tabung pemisah (Roth, 1994).
Zat yang bergerak cepat akan segera meninggalkan kolom selama proses kromatografi dan akan muncul di eluat yaitu dalam cairan yang keluar. Eluat ditampung dengan bantuan sejumlah tabung reaksi secukupnya, difraksinasi dan fraksi yang mengandung zat yang sama disatukan. Zat yang bergerak lambat, selama proses kromatografi tidak akan terelusi. Zat ini akan tinggal tetap dalam kolom dan setelah berakhirnya pengembangan dan pemisahan mekanik kolom dielusi dari adsorben secara ekstraksi dengan pelarut sesuai (Roth, 1994).
Kromatografi kolom pertama-tama digunakan untuk mendapatkan hasil zat murni secara preparatif dari campuran, tetapi kemudian juga digunakan untuk pemisahan zat pada penentuan kuantitatif, untuk pemurnian pelarut organik dari senyawa yang dapat mengadsorpsi lemak (air, alkohol, asam, hidroperoksida), bahkan juga untuk pemisahan diastereomer dan rasemat. pemisahan rasemat tentu saja dengan menggunakan bahan sorpsi aktif optik (Roth, 1994).
Metode pemisahan kromatografi kolom ini memerlukan bahan kimia yang cukup banyak sebagai fasa diam dan fasa gerak, bergantung pada ukuran kolom gelas. Untuk melakukan pemisahan campuran dengan metode kromatografi kolom diperlukan waktu yang relatif lama. Selain itu hasil pemisahan kurang jelas, kadang-kadang sukar mendapatkan pemisahan secara sempurna karena pita komponen yang satu bertumpang tindih dengan komponen yang lainnya. Masalah waktu yang lama disebabkan laju alir fasa gerak hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Ukuran diameter partikel yang cukup besar membuat luas permukaan fasa diam relatif kecil sehingga tempat untuk berinteraksi antar komponen-komponen dengan fasa diam menjadi terbatas. Apabila ukuran diameter partikel diperkecil supaya luas permukaan fasa diam bertambah maka menyebabkan semakin lambatnya aliran fasa gerak atau fasa gerak tidak mengalir sama sekali. Selain itu fasa diam yang sudah terpakai tidak dapat digunakan lagi untuk pemisahan campuran yang lain karena sukar meregenerasi fase diam (Hendrayana, 2010).

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan Penelitian
a. Isolasi Senyawa Bioaktif Herba Ciplukan Fraksi Etil Asetat
 1) Penyiapan Sampel
Sampel yang digunakan adalah herba ciplukan (Physallis angulata L.) yang masih segar, tidak rusak. Akar kemudian dibersihkan dengan air mengalir dan bersih, selanjutnya herba ciplukan dikeringkan dengan cara diangin-anginkan pada udara terbuka di dalam ruangan, dengan tujuan agar tidak terkena paparan sinar matahari langsung. Sampel yang telah kering disortasi agar diperoleh sampel bersih tanpa adanya pengotor, kemudian sampel dipotong-potong kecil hingga diperoleh rajangan simplisia herba ciplukan.

2) Ekstraksi Sampel
Simplisia herba ciplukan yang dihaluskan dimasukkan ke dalam wadah kaca dan ditambahkan pelarut metanol hingga terendam seluruhnya. Kemudian diaduk simplisia dengan batang pengaduk dan dilakukan perendaman selama 3x24 jam. Filtrat yang diperoleh disaring dengan kertas saring dan dipekatkan dengan rotary evaporator.

3) Fraksinasi
Akan dibuat fraksi etil asetat dalam  proses fraksinasi ini. Ekstrak metanol  herba ciplukan (Physallis angulata L.) ditimbang sebanyak 5 gram, ditambahkan pelarut n-heksana sebanyak 50 mL kemudian ditambahkan pelarut etil asetat sebanyak 50 mL dan dilakukan penggojokan di dalam corong pisah. Setelah beberapa menit akan terbentuk 2 lapisan. Lapisan etil asetat ditampung dan diperoleh fraksi etil asetat. Fraksi n-heksana yang terdapat dalam corong pisah ditambahkan kembali pelarut etil asetat dan dilakukan penggojokan kembali hingga terbentuk 2 lapisan, lapisan etil asetat dikeluarkan dan ditampung kembali. Diulangi prosedur tersebut hingga 5 kali pengulangan. Lapisan atas hasil fraksinasi dikeringkan atau diuapkan sehingga diperoleh ekstrak yang sudah dipekatkan.

4)  Isolasi Senyawa
a)      Penentuan Eluen dengan Kromatografi Lapis Tipis
Pelarut yang digunakan adalah metanol dan kloroform yang dicampurkan dalam perbandingan tertentu. Sampel ditotolkan pada plat KLT yang telah disiapkan. Penotol yang digunakan adalah pipa kapiler. Totolan yang telah dilakukan pada plat KLT dielusi dengan pelarut (eluen) dengan perbandingan tertentu yang telah disiapkan sebelumnya. Kemudian plat KLT dikeringkan dengan pengering rambut, lalu disemprotkan larutan penampakan spot, yaitu H2SO4. Setelah penyemprotan, totolan tersebut dikeringkan dengan pengering rambut. Jika tampak noda (spot) yang terpisah maka ditentukan perbandingan eluen.

b) Pengisian Kolom
(1) Pembuatan Bubur Silika
Diambil silika gel 100 gram, dimasukkan dalam gelas kimia. Ditambahkan eluen (yang sudah didapat perbandingannya) secukupnya.
(2) Penyiapan Kolom
Disiapkan statif dan klem untuk menopang kolom kromatografi, dipasang tabung kolom hingga didapat posisi tegak lurus. Dimasukkan kapas di dasar kolom lalu siap untuk dimasukkan eluen.
(3) Pengisian Kromatografi Kolom dengan Bubur Silika
Kolom yang sudah bersih diisi dengan eluen yang terpilih dari penentuan eluen pada kromatografi lapis tipis (metanol : kloroform). Keran kolom dibuka agar eluen keluar dengan lancar. Kemudian dimasukkan bubur silika sedikit demi sedikit sampai padat terisi di dalam kolom lalu dibiarkan kolom  terendam dengan eluen selama satu malam.

c) Proses Isolasi Senyawa dengan Kromatografi Kolom
Sampel sebanyak 1 gram dicampurkan dengan silika gel. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kolom yang selanjutnya dilakukan pengelusian. Adapun pola elusi yang digunakan adalah dengan peningkatan kepolaran.
d) Penentuan Jumlah Senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis
Hasil dari kromatografi kolom yang telah didapatkan ditampung dalam botol vial masing-masing 5 ml, selanjutnya diamati dengan kromatografi lapis tipis dengan eluen yang sesuai. Fraksi yang memberikan noda dengan harga Rf yang sama dapat digabungkan.

e) Pemurnian Senyawa Hasil Isolasi
Untuk pemurnian lanjutan dilakukan dengan kromatografi kolom yang menggunakan silika gel sebagai fase diam. Kolom yang sudah  bersih diisi dengan eluen yang terpilih dari penentuan eluen pada kromatografi lapis tipis (metanol : kloroform). Keran kolom yang digunakan dibuka agar eluen keluar dengan lancar. Kemudian dimasukkan bubur silika sedikit demi sedikit sampai padat terisi di dalam kolom lalu dibiarkan kolom terendam dengan eluen selama satu malam.
Sampel yang akan dikolom sebanyak 1 gram digerus dengan silika gel ditambahkan dengan metanol secukupnya lalu campuran tersebut diaduk, lalu didiamkan hingga metanol menguap. Bubuk sampel tersebut dimasukkan kedalam kolom yang selanjutnya dilakukan pengelusian dengan menggunakan eluen yang telah ditentukan.
Hasil dari kromatografi kolom yang telah didapatkan ditampung dalam botol vial masing-masing 5 mL, selanjutnya diamati dengan kromatografi lapis tipis dengan eluen yang sesuai. Fraksi yang memberikan noda dengan harga Rf yang sama dapat digabungkan.
Uji golongan metabolit sekunder dimulai dari fraksi hasil isolasi. Metabolit sekunder yang diperoleh dideteksi dari hasil uji pada fraksi.
 
5) Identifikasi Metabolit Sekunder Isolat
a)      Alkaloid
Disiapkan 2 tabung reaksi, dimasukkan ekstrak kemudian masing-masing ditambahkan 1,5 mL asam klorida 2%. Tabung reaksi I ditambahkan 3 tetes pereaksi dragendroff, hasil positif ditandai ada tidaknya endapan jingga coklat. Tabung reaksi II ditambahkan 3 tetes pereaksi meyer dan hasil positif ditandai ada tidaknya endapan putih kekuningan.
b)     Flavonoid
Ekstrak kering dilarutkan dalam 1-2 mL metanol, ditambahkan pita magnesium dan 5 tetes asam klorida kemudian diamati perubahan yang terjadi. Hasil positif bila berwarna merah atau jingga.

c)      Steroid dan Triterpenoid
Ekstrak ditambahkan 0,5 mL asam asetat, 0,5 mL kloroform, dan 1 mL asam sulfat pekat kemudian diamati perubahan yang terjadi, hasil positif akan terbentuk cincin merah coklat/ungu di bagian atas hijau/ungu.