2.3.1. Pengertian Isolasi
Pada
dasarnya isolasi senyawa kimia dari bahan alam adalah sebuah usaha bagaimana
caranya memisahkan senyawa yang bercampur sehingga kita dapat menghasilkan senyawa
tunggal yang murni. Tumbuhan mengandung ribuan senyawa yang dikategorikan
sebagai metabolit primer dan metabolit sekunder. Biasanya proses isolasi
senyawa dari bahan alami ini mentargetkan untuk mengisolasi senyawa metabolit
sekunder, karena senyawa metabolit sekunder diyakini dan telah diteliti dapat
memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Antara lain manfaatnya dalam bidang
pertanian, kesehatan dan pangan.
2.3.2. Teknik-teknik Isolasi
Untuk
mengisolasi suatu senyawa kimia dari bahan alam hayati pada dasarnya
menggunakan metode yang sangat bervariasi, seperti yang diaplikasikan dalam
proses industri. Metode pengempaan digunakan pada isolasi CPO dari buah kelapa
sawit.
Metode ini umum digunakan karena
senyawa organik yang diperoleh dengan kuantitas yang cukup banyak. Tetapi
berbeda dengan senyawa bahan alam hasil proses metabolit sekunder lainnya yang
pada umumnya dengan kandungan yang relatif kecil, maka metode-metode dalam
proses industri tersebut tidak dapat digunakan.
Berdasarkan hal di atas maka metode
umum dalam isolasi senyawa metabolit sekunder dapat digunakan. Metode standar
laboratorium dengan kuantitas sampel terbatas dan perlunya menetukan metode
yang paling sesuai dengan maksud tersebut (Darwis, 2000).
Dari identifikasi awal,
maka dapat diamati kandungan senyawa dari tumbuhan sehingga untuk isolasi dapat
diarahkan pada suatu senyawa yang lebih dominan dan salah satu usaha
mengefektifkan isolasi senyawa tertentu maka dapat dimanfaatkan pemilihan
pelarut organik yang akan digunakan pada isolasi tersebut, dimana pelarut polar
akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan sebaliknya senyawa non polar
lebih mudah larut dalam pelarut non polar (Harborne, 1987).
a.
Simplisia
Simplisia
ialah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat, yang belum mengalami
pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisia nabati ialah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan
keluar dari tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari
selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari
tanamannya dan belum berupa zat murni (Departemen Kesehatan RI, 1986).
b.
Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan
pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Ekstraksi
adalah proses penarikan komponen/zat aktif simplisia dengan menggunakan pelarut
tertentu. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar
dan senyawa non polar dalam pelarut non polar (Departemen Kesehatan RI, 1986).
c.
Maserasi
Maserasi
merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus
dinding sel dan masuk ke rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan
larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam
sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak ke luar.
Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel.
Maserasi digunakan untuk penyarian
simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari,
tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak
mengandung benzoin, stirak, dan lain-lain.
Keuntungan cara penyarian
menggunakan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan
sederhana dan mudah diusahakan. Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu
dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan
di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap
terjaga adanya derajat konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di
dalam sel dengan larutan di luar sel (Departemen Kesehatan RI, 1986).
Ekstrak yang telah diperoleh
kemudian dijernihkan dengan penyaringan kemudian dipekatkan dalam hampa. Hal
ini sekarang bisa dilakukan dalam penguap putar yang akan memekatkan larutan
menjadi volume kecil, tanpa disertai percikkan pada suhu 30oC dan 40oC
(Harborne, 1987).
Pemilihan pelarut yang digunakan
untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan
memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut tersebut. Teknik
maserasi terutama digunakan apabila senyawa organik yang terdapat pada bahan
alam menunjukkan presentasi yang cukup banyak. Serta ditemukan pelarut untuk
melarutkan senyawa organik tanpa pemanasan. Biasanya cara ini membutuhkan waktu
agak lama dan agak sulit mencari pelarut organik yang baik untuk melarutkan
senyawa yang terkandung dalam sampel. Akan tetapi jika struktur senyawa yang
akan diisolasi sudah diketahui, maka metode perendaman ini merupakan metode
yang paling praktis (Manjang, 2006)
Secara umum pelarut
metanol merupakan pelarut yang paling banyak digunakan dalam proses isolasi
senyawa organik bahan alam. Hal ini disebabkan metanol dapat melarutkan hampir
seluruh golongan metabolit sekunder.
d.
Fraksinasi
Fraksinasi merupakan
suatu prosedur yang digunakan untuk memisahkan golongan utama kandungan yang
satu dari kandungan golongan utama yang lainnya. Fraksinasi merupakan prosedur
pemisahan komponen-komponen berdasarkan perbedaan kepolaran tergantung dari
jenis senyawa yang terkandung dalam tumbuhan. Dalam metode fraksinasi
pengetahuan mengenai sifat senyawa yang terdapat dalam ekstrak akan sangat mempengaruhi
proses fraksinasi. Oleh karena itu, jika digunakan air sebagai pengekstraksi
maka senyawa yang terekstraksi akan bersifat polar, termasuk senyawa yang
bermuatan listrik. Jika digunakan pelarut non polar misalnya heksan, maka
senyawa yang terekstraksi bersifat non polar dalam ekstrak (Harborne, 1987).
e.
Kromatografi
Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk mengetahui apakah senyawa
hasil isolasi sudah murni. Apabila noda yang dihasilkan hanya satu, maka
kemungkinan hasil isolasi tertentu adalah murni. Akan tetapi untuk
memastikannya perlu dilakukan variasi pelarut yang digunakan sebagai pengelusi.
Jika elusi dengan variasi pelarut tetap memberikan noda tunggal, maka dapat
diperkirakan senyawa hasil isolasi sudah murni.
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia atau merupakan
salah satu metode identifikasi awal untuk menentukan kemurnian senyawa yang
ditemukan atau dapat menentukan jumlah senyawa dari ekstrak kasar metabolit
sekunder. Kromatografi lapis tipis merupakan kromatografi adsorpsi dan adsorben
bertindak sebagai fase stasioner (Ibrahim S, 2000).
Lapisan yang memisahkan terdiri dari
atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat
gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa
larutan, ditotolkan berupa bercak kemudian plat dimasukkan di dalam bejana
tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak).
Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan selanjutnya senyawa
tidak berwarna harus ditampakkan. Pereaksi noda pada plat KLT bervariasi
tergantung dari senyawa yang akan diamati. Untuk noda yang mengalami
fluoresensi warna pengamatan noda dapat dilakukan dengan lampu UV pada serapan
panjang gelombang 254 nm dan 365 nm (Markham, 1988).
Fase diam yang digunakan dalam KLT
merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm.
Semakin kecil ukuran rata-rata pertikel fase diam dan semakin sempit kisaran
ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan
resolusinya.
Lempeng KLT disiapkan dengan
melapiskan penjerap ke permukaan lapisan kaca, gelas, atau aluminium dengan
ketebalan 250 µm. Lempeng KLT telah tersedia di pasaran dengan berbagai ukuran
dan telah ditambah dengan reagen fluoresen untuk memfasilitasi deteksi bercak
solut. Di samping itu, lempeng KLT yang tersedia di pasaran sudah ditambah
dengan reagen fluoresen untuk memfasilitasi deteksi bercak solut. Di samping
itu, lempeng KLT yang tersedia di pasaran sudah ditambah dengan agen pengikat,
seperti kalsium sulfat (Gandjar, 2008).
Fase gerak pada KLT dapat dipilih
dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang
diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2
pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Gandjar, 2008).
1. Aplikasi (Penotolan) Sampel
Pemisahan pada KLT yang
optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak
sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang
lain, jika sampel terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penotolan secara otomatis lebih dipilih daripada
penotolan manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 µl.
Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan
puncak ganda. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan
paling sedikit 0,5 µl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari
2-10 µl maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan
pengeringan antar totolan (Gandjar, 2008).
2. Pengembang
Bila sampel telah ditotolkan maka
tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel tersebut dalam suatu bejana
kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian
bawah lempeng lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke dalam fase gerak
kurang lebih 0,5-1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus di bawah lempeng
yang telah berisi totolan sampel.
Bejana kromatografi
harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit mungkin.
Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas
saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung atas kertas saring, maka dapat
dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Selama proses elusi, bejana
kromatografi harus ditutup rapat, misalkan dengan lembar aluminium dan sebagainya
(Gandjar, 2008).
3. Deteksi Bercak
Bercak pemisahan pada KLT
umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat
dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan
adalah mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan
sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk
menampakkan bercak adalah pencacahan radioaktif dan fluoresensi sinar
ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat
berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika senyawa tidak dapat
berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang
berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar
belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi
untuk mendeteksi bercak:
1). Menyemprot
lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan
seluruh solut yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng
dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan
intensitas warna bercak.
2). Mengamati
lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang, panjang gelombang emisi 254
atau 366 untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang
berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi seragam. Lempeng yang
diperdagangkan dapat dibeli dalam bentuk lempeng yang sudah diberi dengan
senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk
memberikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan
reagen fluoresensi setelah dilakukan pengembangan.
3). Menyemprot
lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk
mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai
kecoklat-coklatan.
4). Memaparkan
lempeng dengan uap iodium dalam chamber
tertutup.
5). Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan
densitometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas radiasi yang
direfleksikan dari permukaaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau
lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai
puncak dalam pencatat.
(Gandjar,
2008)
f.
Kromatografi Kolom
Kromatografi
kolom digunakan untuk pemisahan campuran beberapa senyawa yang diperoleh dari
isolasi tumbuhan. Dengan menggunakan fase padat dan fase cair (pelarut
organik), maka fraksi-fraksi senyawa akan menghasilkan kemurnian yang cukup
tinggi (Ibrahim, 2000).
Penentuan
pelarut terbaik dilakukan dengan telah pendahuluan pada plat KLT dan kemudian
pemisahan dialihkan ke kromatografi kolom dengan memperhatikan bahwa penjerap
diaktifkan dulu dengan tepat. Jika kita melakukan pemisahan memakai silika gel,
kita harus memakai silika gel untuk kromatografi kolom (Hostettman, 1995)
Umumnya
kolom terbuat dari gelas dengan diameter 1-4 cm dengan panjang 5-60 cm. Fase
mobil bergerak melintasi fase diam (fase stasioner) dengan tenaga gravitasi,
serapan lembut atau diberi tekanan atau pompa. Komponen-komponen yang telah
terpisah dari campurannya bergerak terbawa fase gerak ke bawah kolom. Jumlah
komponen penyusun campuran dapat terlihat sebagai cincin-cincin berwarna
sepanjang kolom gelas. Akhirnya, komponen-komponen dari campuran meninggalkan
kolom gelas satu persatu dan dapat ditampung pada tempat yang berbeda
(Hendrayana, 2010).
Tabung
pemisah yang diisi dengan bahan sorpsi disebut kolom pemisah. Tergantung dari
masalah pemisahan dapat digunakan tabung filter dengan gelas berpori, yang pada
ujung bawah menyempit atau tabung gelas, yang dan dilengkapi dengan keran, tabung
bola jarang digunakan (Roth, 1994).
Silika gel merupakan jenis adsorben (fase diam) yang
penggunaannya paling luas. Permukaan silika gel terdiri atas gugus Si-O-Si dan
gugus silanol (Si-OH). Gugus silanol bersifat sedikit asam dan polar karenanya
gugus ini mampu membentuk ikatan hidrogen dengan solut-solut yang agak polar
sampai sangat polar. Beberapa adsorben yang sering digunakan dituliskan dalam
tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Adsorben-adsorben pada pemisahan
kromatografi
No.
|
Adsorben
|
Urutan Kepolaran
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Alumina
Karbon aktif
Silika gel
Magnesium silikat
Selulosa
Resin-resin polimerik (stiren/difenil benzen)
|
Paling polar
Paling non polar
|
(Gandjar, 2008)
Semakin polar solut maka semakin tertahan kuat ke
dalam adsorben silika gel ini. Solut-solut non polar (seperti
hidrokarbon-hidrokarbon jenuh) tidak mempunyai afinitas atau mempunyai sedikit
afinitas terhadap adsorben polar, sementara solut-solut yang terpolarisasi
(seperti hidrokarbon-hidrokarbon tak jenuh) mempunyai afinitas yang kecil
terhadap adsorben polar disebabkan adanya interaksi dipol atau
interaksi-interaksi yang diinduksi oleh dipol. Solut-solut polar, terutama yang
mampu membentuk ikatan hidrogen, akan terikat kuat pada adsorben karenanya
butuh fase gerak yang cukup polar untuk mengelusinya. Berikut adalah urutan
polaritas solut-solut organik : alkana < alkena < aromatis < eter <
ester < keton dan aldehid < tiol < amin dan amida < alkohol <
fenol < asam-asam organik (Gandjar, 2008).
Pengisian tabung pemisah dengan adsorben, yang juga
disebut kemasan kolom, harus dilakukan secara hati-hati, harus rata. Aluminium
oksida atau silika gel dapat diisikan kering ke dalam tabung pemisah. Agar
pengisian rata, tabung setelah diisi divibrasi, diketok-ketok, atau dijatuhkan
lemah pada plat kayu. adsorben lainnya harus diisikan sebagai suspensi,
terutama jika zat ini dapat menggelembung dengan pelarut pengembang. yang umum
dilakukan adalah, adsorben dibuat seperti bubur dengan pelarut elusi, kemudian
dimasukkan ke dalam tabung pemisah (Roth, 1994).
Zat yang bergerak cepat akan segera meninggalkan
kolom selama proses kromatografi dan akan muncul di eluat yaitu dalam cairan
yang keluar. Eluat ditampung dengan bantuan sejumlah tabung reaksi secukupnya,
difraksinasi dan fraksi yang mengandung zat yang sama disatukan. Zat yang
bergerak lambat, selama proses kromatografi tidak akan terelusi. Zat ini akan
tinggal tetap dalam kolom dan setelah berakhirnya pengembangan dan pemisahan
mekanik kolom dielusi dari adsorben secara ekstraksi dengan pelarut sesuai
(Roth, 1994).
Kromatografi kolom pertama-tama digunakan untuk
mendapatkan hasil zat murni secara preparatif dari campuran, tetapi kemudian
juga digunakan untuk pemisahan zat pada penentuan kuantitatif, untuk pemurnian
pelarut organik dari senyawa yang dapat mengadsorpsi lemak (air, alkohol, asam,
hidroperoksida), bahkan juga untuk pemisahan diastereomer dan rasemat.
pemisahan rasemat tentu saja dengan menggunakan bahan sorpsi aktif optik (Roth,
1994).
Metode pemisahan kromatografi kolom ini memerlukan bahan kimia yang cukup
banyak sebagai fasa diam dan fasa gerak, bergantung pada ukuran kolom gelas.
Untuk melakukan pemisahan campuran dengan metode kromatografi kolom diperlukan
waktu yang relatif lama. Selain itu hasil pemisahan kurang jelas, kadang-kadang
sukar mendapatkan pemisahan secara sempurna karena pita komponen yang satu
bertumpang tindih dengan komponen yang lainnya. Masalah waktu yang lama
disebabkan laju alir fasa gerak hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi.
Ukuran diameter partikel yang cukup besar membuat luas permukaan fasa diam
relatif kecil sehingga tempat untuk berinteraksi antar komponen-komponen dengan
fasa diam menjadi terbatas. Apabila ukuran diameter partikel diperkecil supaya
luas permukaan fasa diam bertambah maka menyebabkan semakin lambatnya aliran
fasa gerak atau fasa gerak tidak mengalir sama sekali. Selain itu fasa diam
yang sudah terpakai tidak dapat digunakan lagi untuk pemisahan campuran yang
lain karena sukar meregenerasi fase diam (Hendrayana, 2010).